Seberapa Ampuh Vitamin D Mencegah COVID-19? Ini Kata Ahli

Ilustrasi makanan vitamin D. (Freepik)

Editor: Dera - Selasa, 30 November 2021 | 08:00 WIB

Sariagri - Pandemi COVID-19 telah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kekebalan tubuh. Salah satu cara yang banyak dipilih adalah dengan mengonsumsi berbagai vitamin, terutama vitamin D.

Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak yang memainkan sejumlah peran penting dalam tubuh, khususnya meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

Lalu, benarkah mengonsumi vitamin D dapat mengurangi risiko tertular COVID-19?

Meskipun saat ini tidak ada obat untuk COVID-19, berapa penelitian menunjukkan bahwa memiliki kadar vitamin D yang sehat dapat membantu menjaga sistem kekebalan tubuh dan melindungi terhadap penyakit pernapasan secara umum.

Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan, pasien COVID-19 di rumah sakit yang memiliki kadar vitamin D dalam tubuh memiliki penurunan risiko gejala parah atau kematian.

Bagaimana vitamin D mempengaruhi kesehatan kekebalan tubuh?

Melansir Healthline, Vitamin ini memainkan peran penting dalam meningkatkan respon imun karena memiliki sifat anti-inflamasi dan imunoregulasi, serta penting untuk aktivasi pertahanan sistem kekebalan tubuh, termasuk sel T dan makrofag yang melindungi tubuh dari patogen.

Kadar vitamin D yang rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit pernapasan, termasuk TBC, asma, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), serta infeksi saluran pernapasan akibat virus dan bakteri. Kekurangan vitamin D juga telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru-paru yang dapat memengaruhi kemampuan tubuh melawan infeksi pernapasan.

Lantas, dapatkah vitamin D melindungi dari COVID-19?

Saat ini, tidak ada obat atau pengobatan untuk COVID-19 dan beberapa penelitian telah menyelidiki efek suplemen vitamin D atau kekurangan vitamin D pada risiko tertular virus corona baru, SARS-CoV-2.

Namun, sebuah penelitian baru-baru ini telah menemukan bahwa tingkat darah 25-hidroksivitamin D setidaknya 30 ng/mL tampaknya membantu mengurangi kemungkinan hasil klinis yang merugikan dan kematian pada pasien rawat inap dengan COVID-19.

Data rumah sakit menunjukan, dari 235 pasien dengan COVID-19 dianalisis, pasien berusia 40 tahun ke atas yang memiliki kadar vitamin D yang memadai maka 51,5 persen lebih kecil mengalami hipoksia dan kematian.

Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D dapat membahayakan fungsi kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko terkena penyakit pernapasan. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa suplemen vitamin D dapat meningkatkan respon imun dan melindungi terhadap infeksi pernapasan secara keseluruhan.

Sebuah tinjauan baru-baru ini yang melibatkan 11.321 orang dari 14 negara menunjukkan bahwa suplementasi dengan vitamin D menurunkan risiko infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Suplemen vitamin ini juga telah terbukti mengurangi kematian pada orang dewasa yang lebih tua, 

Selain itu, vitamin ini juga meningkatkan proses yang dikenal sebagai “badai sitokin". Sitokin adalah protein yang merupakan bagian integral dari sistem kekebalan tubuh. Mereka dapat memiliki efek pro-inflamasi dan anti-inflamasi dan memainkan peran penting, membantu melindungi terhadap infeksi dan penyakit.

Baca Juga: Seberapa Ampuh Vitamin D Mencegah COVID-19? Ini Kata Ahli
Pandemi COVID-19 Belum Usai, Ini 4 Makanan Penting yang Mengandung Vitamin D

Namun, sitokin juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan dalam keadaan tertentu. Badai sitokin mengacu pada pelepasan sitokin pro-inflamasi yang tidak terkontrol yang terjadi sebagai respons terhadap infeksi atau faktor lain. Pelepasan sitokin yang tidak teratur dan berlebihan ini menyebabkan kerusakan jaringan yang parah, bahkan menjadi penyebab kegagalan beberapa organ dan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS).

Kekurangan vitamin D telah dikaitkan dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh dan dapat meningkatkan badai sitokin. Dengan demikian, para peneliti menyimpulkan bahwa kekurangan vitamin D dapat meningkatkan risiko komplikasi COVID-19 yang parah, serta dapat mengurangi komplikasi yang terkait dengan badai sitokin dan peradangan yang tidak terkendali pada orang dengan COVID-19.