5 Fakta Limbah Fashion, Industri Penyebab Polusi Terbesar Kedua di Dunia

Ilustrasi - Fashion. (Pxhere)

Editor: Arif Sodhiq - Minggu, 10 April 2022 | 12:30 WIB

Sariagri - Gemerlap dunia fashion memiliki sisi lain yang jarang terlihat. UN Conference of Trade and Development (UNCTD) 2019 mengungkap, fashion adalah industri penyebab polusi terbesar kedua di dunia, setelah industri perminyakan. 

Sepuluh persen dari emisi karbon yang memengaruhi krisis iklim dihasilkan dari industri fashion. Bahkan, jumlah emisi karbon dari industri fashion lebih besar daripada total emisi gabungan industri jasa pengiriman dan penerbangan. Ini berarti industri fashion berperan besar dalam mendorong perubahan iklim. 

Persoalannya, di masa mendatang generasi muda akan menjadi paling terdampak perubahan iklim. Sejak sekarang generasi muda perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya beraksi dan berkolaborasi dalam memperlambat perubahan iklim.

“Kecenderungan generasi muda mengonsumsi fast fashion kemudian mendorong Generasi Nol Emisi meluncurkan kampanye #MakinBelelMakinNyaman melalui media sosial pada awal 2022,” ujar Program Director for Sustainable Governance Strategic Kemitraan, Dewi Rizki. 

Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya limbah fashion dengan tetap merawat pakaian-pakaian lama. Dalam kampanye ini, generasi muda diminta menunjukkan koleksi pakaian lama mereka dan berbagi cerita tentang usaha mengurangi belanja fashion untuk menjaga bumi.

Berbagai rupa limbah fashion

Runner Up Pertama Putri Indonesia Bengkulu 2022, Dinda Ayudita mengungkapkan dirinya pernah melihat sampah  menggunung. Namun, sampah itu tidak menyebarkan aroma menyengat.

"Ketika saya mendekat, sampah itu ternyata terdiri dari begitu banyak baju,” katanya.

Dewi menyebutkan, limbah fashion terdiri dari berbagai bentuk, di antaranya limbah cairan. Dua puluh persen limbah cairan di dunia berasal dari industri fashion.

Pewarnaan tekstil menjadi polutan air terbesar kedua di dunia, karena sisa air dari proses pewarnaan sering kali dibuang ke selokan dan sungai. Padahal, limbah ini mengandung zat-zat sisa pewarna kimia sintetis yang berbahaya bagi lingkungan.

Limbah fashion juga bisa berupa sisa kain dari produksi pakaian di pabrik berskala kecil dan besar, serta pakaian tak terpakai yang kita buang, seperti yang dilihat Dinda. Masalahnya, sejumlah bahan pakaian tidak mudah terurai secara alami. Contohnya, polyester dan nilon, yang membutuhkan waktu antara 20 - 200 tahun hingga bisa terurai.

Meski begitu, ada juga pakaian dari bahan kain bisa terurai secara alami, misalnya katun, terutama yang 100 persen. Katun bisa terurai dalam hitungan minggu hingga 5 bulan, sedangkan bahan linen bisa terurai dalam dua minggu. 

Berdampak pada krisis iklim

Dewi menjelaskan, emisi karbon sangat besar dari industri fashion terjadi di setiap tahap rantai pasokan fashion dan siklus produk. Tetapi, 70% emisi karbon berasal dari kegiatan hulu, seperti produksi dan pemrosesan bahan mentah.

Tak hanya itu, dampak fashion terhadap krisis iklim antara lain juga terkait dengan air, bahan kimia, penggundulan hutan, limbah tekstil, serta mikroplastik yang tidak bisa terurai secara alami.

“Salah satu sumber terbesar mikroplastik adalah serat tekstil. Saat ini 63% pakaian terbuat dari kain sintetis atau campuran. Hasil pencucian pakaian dari bahan sintetis dalam setiap beban pencucian akan menghasilkan lebih dari tujuh ratus ribu serat mikroplastik, yang akan langsung mengalir ke pembuangan air dan bermuara di laut,” kata Dewi. 

Di sisi lain, industri fashion juga menyerap begitu banyak sumber daya air. Sebagai gambaran, produksi satu potong jeans membutuhkan 7.500 liter air. Ini setara dengan rata-rata jumlah air minum yang kita konsumsi selama tujuh tahun. Sementara itu, produksi sehelai kaus katun memerlukan 700 galon air, yang setara dengan kebutuhan air minum seseorang per hari (8 gelas) selama 3,5 tahun. Tidak aneh jika industri fashion menjadi consumer terbesar kedua dalam penggunaan suplai air dunia. 

Fast fashion punya andil besar

Dari tahun ke tahun konsumsi produk pakaian terus meningkat. Salah satu penyebabnya adalah budaya fast fashion yang memproduksi berbagai model dalam waktu sangat singkat, serta menggunakan bahan baku yang buruk dan murah.

“Karena harganya yang murah dan modelnya sedang tren, banyak anak muda yang tertarik untuk membeli pakaian dari merek-merek fast fashion tersebut,” kata Dewi.

Dahulu rata-rata brand merilis dua koleksi, yaitu koleksi musim panas dan musim dingin. Namun, sekarang frekuensinya bisa jauh lebih tinggi. Ada brand global yang merilis hingga belasan koleksi per tahun. Bahkan, ada yang mengeluarkan hingga lebih dari 40 koleksi. 

Karena memahami ancaman di balik fast fashion, Dinda selalu memilih model dan warna pakaian yang everlasting, tak pernah ketinggalan zaman. Misalnya, blazer warna hitam yang bisa dipadankan dengan dalaman dan aksesori warna apa pun. 

Perilaku konsumen ikut berperan

Dinda mengakui, dulu dia bisa belanja baju baru setiap hari. Pada akhirnya baju itu hanya terpakai satu-dua kali saja, lalu tersimpan rapi di lemari tanpa pernah tersentuh lagi. Hingga suatu ketika, dia merasa kamarnya terasa begitu sesak baju. 

“Ketika itu saya mulai berpikir ulang tentang kebiasaan membeli baju. Sudah saatnya saya berubah total. Sekarang saya jarang sekali beli baju. Belum tentu setiap satu-dua bulan saya beli baju,” kata Dinda, yang mengajukan diri menjadi duta kampanye #GenerasiNolEmisi di media sosial. 

Dinda mengamati, dari lingkungan teman-temannya saja, kebiasaan belanja baju luar biasa tinggi. Misalnya, temannya sengaja beli baju baru demi acara makan malam. Padahal, koleksi bajunya sudah sangat banyak dan ia hanya akan memakainya satu kali itu saja. Karena itu, Dinda menyarankan untuk pakai baju yang sudah dimiliki. 

dia berbagi tips agar tidak perlu terus-menerus belanja produk fashion. “Pilih produk fashion yang basic dalam warna-warna monokrom, seperti hitam dan cokelat, sehingga bisa dikenakan di berbagai acara dan dipadankan dengan macam-macam aksesori. Basic item milik saya adalah jeans, kaus ketat atau tank top, dan sepatu putih. Kalau mati gaya, sepatu putih tidak pernah gagal jadi penolong,” kata Dinda. 

Limbah fashion bisa ditekan

Selain mengurangi belanja produk fashion, ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk meminimalkan limbah fashion. Yang paling sederhana adalah mendonasikan pakaian lama yang masih layak pakai kepada mereka yang membutuhkan. 

Karena koleksi bajunya sudah begitu banyak, Dinda mempunyai ide untuk mengajak teman-temannya mengadakan garage sale. Setengah dari hasil penjualan didonasikan kepada orang yang memerlukan. Dan, rupanya, pakaian tak terpakai di rumahnya bukan hanya milik dia sendiri, melainkan juga milik ibunya. 

“Saya seleksi beberapa baju kepunyaan Ibu. Baju yang warnanya saya sukai, langsung dipakai. Tapi, kalau saya tidak suka warnanya tapi suka modelnya, biasanya saya warnai dengan warna hitam pekat. Ada juga kaus yang terlalu panjang, sehingga kemudian saya potong dan potongan kainnya dijadikan lap. Saya juga pernah rework tas milik ibu saya yang warna hitamnya sudah sangat pudar,” kata Dinda. 

Baca Juga: 5 Fakta Limbah Fashion, Industri Penyebab Polusi Terbesar Kedua di Dunia
Transportasi Publik Kunci untuk Melawan Perubahan Iklim

Jika sangat perlu belanja baju, Dewi menyarankan untuk memastikan semua diproses secara bertanggung jawab. Antara lain, memastikan pakaian tersebut diproses secara berkelanjutan, misalnya memakai bahan daur ulang, dan dibuat dari bahan yang tahan lama.

“Mengurangi sampah fashion adalah aksi sederhana yang bisa kita lakukan untuk memperlambat perubahan iklim. Jadi, mari menunjukkan rasa cinta pada bumi dengan mengurangi belanja produk fashion, merawat pakaian dengan baik, dan memodifikasi pakaian lama. Semakin banyak anak muda terlibat, dampak perubahan iklim pada dunia dapat makin diperlambat,” kata Dewi.