Rupiah Hari Ini Diperkirakan Masih Akan Melemah

Ilustrasi rupiah terhadap dolar AS di sebuah money changer (antarafoto)

Editor: Yoyok - Selasa, 14 September 2021 | 09:09 WIB

Sariagri - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot pada awal transaksi, Selasa (14/9) pagi, melemah 5 poin atau 0,04 persen menjadi Rp14.258 per dolar AS dibandingkan posisi penutupan sehari sebelumnya Rp14.253 per dolar AS.

Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, memperkirakan nilai tukar rupiah hari ini masih berpotensi melemah karena pelaku pasar mengantisipasi rilis data inflasi AS malam ini.

“Namun di sisi lain, menguatnya indeks saham Asia pagi ini menunjukkan minat pasar terhadap risiko membesar dan ini bisa menahan pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Ditambah banyaknya wilayah yang sudah tidak lagi PPKM level 4 di Tanah Air juga bisa membantu penguatan rupiah,” katanya.

Menurutnya, hari ini rupiah berpotensi melemah ke kisaran Rp14.280 per dolar AS dengan potensi penguatan ke kisaran Rp14.220 per dolar AS.

Dolar Bertahan di Kisaran Ketat di Asia, Investor Tunggu Data Inflasi

Dolar sedikit berubah terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya di perdagangan Asia pada Selasa (14/9) pagi, karena investor menunggu data inflasi AS di sesi ini untuk petunjuk tentang waktu pengetatan kebijakan oleh Federal Reserve (Fed).

Indeks dolar berdiri di 92,622, setelah mundur dari tertinggi dua minggu di 92,887 yang dicapai sebelumnya pada Senin (13/9), sementara euro berpindah tangan di 1,18105 dolar, setelah bangkit kembali dari terendah di 1,17705 dolar, terendah sejak 27 Agustus.

Fokus langsung adalah pada data harga-harga konsumen AS yang akan dirilis pada pukul 12.30 GMT atau Selasa malam.

Para ekonom memperkirakan IHK inti, indeks yang mengecualikan harga energi dan makanan yang bergejolak, telah naik 0,3 persen pada Agustus dari Juli. Inflasi tahunan diperkirakan sedikit berkurang menjadi 4,2 persen dari 4,3 persen pada Juli.

Inflasi Harga Konsumen (IHK) secara keseluruhan diperkirakan akan sedikit turun menjadi 5,3 persen dari 5,4 persen pada Juli.

“Dengan IHK inti yang masih terlihat di atas 4 persen, inflasi berada pada level yang sangat tidak normal. Powell (Ketua Fed) telah mengatakan inflasi akan bersifat sementara sejak Maret tetapi The Fed mungkin harus menyesuaikan kata-katanya dalam pernyataan kebijakan berikutnya," kata Ahli Strategi Senior Daiwa Securities, Yukio Ishizuki.

The Fed akan mengadakan pertemuan kebijakan minggu depan. The Wall Street Journal melaporkan pada Jumat (10/9) bahwa pejabat Fed akan mencari kesepakatan untuk mulai mengurangi pembelian obligasi pada November.

Tapering tahun ini sudah deal. Pertanyaan berikutnya adalah apakah Fed akan menaikkan suku bunga tahun depan. Mengingat inflasi terus berlanjut, The Fed mungkin tidak bisa terlalu lama bersantai tentang hal itu,” kata Ishizuki.

Yen sedikit melemah menjadi 110,005 yen terhadap dolar tetapi tetap berada di wilayahnya selama beberapa minggu terakhir di sekitar 110.

Pergerakan terbatas dalam pasangan mata uang tersebut, diperkirakan mendorong pedagang mengurangi ekspektasi untuk ayunan pasar.

Volatilitas tersirat pada opsi dolar/yen telah jatuh ke level historis, dengan volatilitas satu bulan jatuh ke level 4,625 persen, terendah sejak Februari tahun lalu tepat sebelum pandemi.

Mata uang sensitif risiko sedikit bergerak untuk saat ini, dengan sterling di 1,3836 dolar dan dolar Australia di 0,7362 dolar.

Sementara pasar saham dunia berada di dekat rekor tertinggi, mendukung sentimen risiko, beberapa analis memperingatkan meningkatnya hambatan terhadap sentimen risiko.

“Selera risiko global bergerak menuju fase yang lebih lemah dan gelisah. G2 (AS-China) yang sumbang semakin menjadi masalah,” kata Ahli Strategi Makro Deutsche Bank, Alan Ruskin, di New York.

Baca Juga: Rupiah Hari Ini Diperkirakan Masih Akan Melemah
Rupiah Awal Pekan Ini Diperkirakan Bergerak Melemah



“Perselisihan perdagangan AS-China belum menemukan penyelesaian apa pun. Sebaliknya, kekuatan pasar mendominasi target kuantitas, dan pelebaran keseimbangan bilateral akan kembali menjadi sumber ketegangan,” tambahnya.

Banyak investor juga mengawasi perkembangan di China, di mana pengembang properti yang kekurangan uang Evergrande berjuang untuk menangkis kekhawatiran solvabilitas, sementara gelombang langkah regulasi tanpa henti oleh Beijing menghantam perusahaan teknologi besar.