Rupiah Akhir Pekan Ini Diperkirakan Melemah

Ilustrasi mata uang rupiah terhadap dolar AS (Foto Antara)

Editor: Yoyok - Jumat, 26 Februari 2021 | 09:48 WIB

SariAgri - Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat (26/2) pagi bergerak melemah tujuh poin menjadi Rp14.025 per dolar Amerika Serikat (AS) dibandingkan sebelumnya di posisi Rp14.018 per dolar AS.

Analis pasar uang PT Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra, mengatakan rupiah mungkin melemah terhadap dollar AS hari ini karena terus naiknya tingkat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS terutama tenor jangka panjang. Untuk tenor 10 tahun, yield menembus level 1,56 persen kemarin dan hari ini masih bertahan di kisaran 1,50 persen.

“Kenaikan yield obligasi jangka panjang ini didukung oleh outlook pemulihan ekonomi dan kenaikan inflasi di AS. Naiknya yield obligasi pemerintah AS ini membuat dollar AS lebih menarik. Sehingga, potensi pergerakan dolar terhadap rupiah hari ini di kisaran Rp14.050-RP14.130 per dolar,” katanya saat dihubungi, Jumat pagi.

Dilaporkan, indeks Dolar terangkat dari level terendah tujuh pecan pada Kamis (Jumat pagi WIB) setelah  yield  US Treasury 10-tahun melesat setingginya 1,6 persen menyusul penawaran yang lebih lemah dari perkiraan dalam lelang surat utang pemerintah Amerika.

Pergerakan tersebut adalah contoh terbaru dari pasar mata uang yang mengambil isyarat dari obligasi, yang bergerak pada perubahan prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi, menyusul gelontoran stimulus pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan pelonggaran kebijakan moneter bersama dengan peningkatan vaksinasi Covid-19.

Indeks Dolar (Indeks DXY), ukuran  greenback  terhadap sekeranjang enam mata uang, menguat 0,27 pada perdagangan petang di New York setelah merosot sebanyak 0,26 persen menjadi 89,677, tingkat terendah sejak 8 Januari.

Imbal hasil US Treasury 10-tahun berada di posisi 1,55 persen, masih naik 16 basis poin pada hari itu, demikian laporan  Reuters,  di New York, Kamis (25/2) atau Jumat (26/2) pagi WIB. Lonjakan menjadi 1,6 persen pada sore hari ketika lelang surat utang bertenor 7 tahun senilai 62 miliar dolar AS dipenuhi dengan permintaan yang lemah.

Kenaikan  yield  obligasi, setelah menyesuaikan dengan inflasi, berakselerasi dalam beberapa hari terakhir, menunjukkan keyakinan yang berkembang bahwa bank sentral mungkin mulai mengurangi kebijakan ultra-longgar, bahkan ketika para pejabat mempertahankan retorika dovish.

"Ini telah menjadi pergerakan global," kata Vassili Serebriakov, analis UBS di New York. "Imbal hasil obligasi yang lebih tinggi itu adalah gejala dari ekspektasi pemulihan ekonomi yang kuat setelah pandemi."

Data yang dirilis Kamis menunjukkan lebih sedikit warga Amerika yang mengajukan klaim baru untuk tunjangan pengangguran, pekan lalu, di tengah penurunan infeksi Covid-19.

Chairman Federal Reserve, Jerome Powell, Rabu, menegaskan bahwa bank sentral Amerika itu tidak akan memperketat kebijakannya sampai ekonomi membaik.

Mata uang terkait komoditas, termasuk dolar Australia, Selandia Baru dan Kanada, semuanya mencapai level tertinggi tiga tahun pada hari sebelumnya karena imbal hasil obligasi mereka melambung.

"Amerika Serikat sebenarnya tertinggal banyak dari negara-negara tersebut dalam hal pergerakan imbal hasil," kata Erik Nelson, analis Wells Fargo di New York, mencatat bahwa  yield  surat utang Selandia Baru bertenor 10 tahun meningkat 18 basis poin pada sesi Kamis.

Aussie mencapai 0,8007 dolar AS versus  greenback  dan terakhir merosot 1 persen menjadi 0,7882 dolar AS. Kiwi Selandia Baru menyentuh 0,7463 dolar AS dan kemudian jatuh, terakhir anjlok 1,29 persen untuk hari itu.

Baca Juga: Rupiah Akhir Pekan Ini Diperkirakan Melemah
Dibuka Melemah, Rupiah Berpotensi Tertekan

Membebani Aussie adalah harga minyak dan saham Amerika yang lebih rendah, serta menyempitnya imbal hasil obligasi Australia dan AS, menurut analis Commonwealth Bank of Australia.

Dolar Kanada naik setingginya 1,2468 per dolar AS, tetapi terakhir bertengger di posisi 1,2610 dolar AS.

Euro merangkak ke level tertinggi tiga pekan, menguat 0,5 persen sebelum mundur. Terakhir, euro turun 0,05 persen menjadi 1,2164 dolar AS. Mata uang  safe-haven  yen, yang cenderung berkinerja buruk ketika pertumbuhan global membaik, melemah serendahnya 106,29 yen per dolar AS.