Pakar Ekonomi Unusa: UMKM Berbasis Pesantren Paling Cepat Bangkit

Santri Pondok Pesantren Sadang Lebak Wanaraja sedang membungkus produk gula aren Gentong Mas. (Foto: Sariagri/Jayadi)

Editor: M Kautsar - Minggu, 21 Februari 2021 | 21:00 WIB

SariAgri - Usaha mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi sektor paling terpukul selama setahun pandemi covid-19 melanda Indonesia. Analisa tersebut disampaikan Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Moh Ghofirin.

Ghofirin menilai UMKM mengalami berbagai pukulan berat mulai dari penurunan omzet penjualan, kesulitan mendapatkan pembiayaan, permasalahan distribusi barang hingga kesulitan mendapatkan bahan baku produk.

Dia menyebutkan UMKM eksportir merupakan sektor yang paling banyak terpengaruh oleh pandemi Covid-19, disusul kemudian secara berturut-turut UMKM yang bergerak dalam sektor kerajinan dan pendukung pariwisata serta sektor pertanian.

“Pada level pengusaha, UMKM yang paling terdampak Covid-19 adalah pedagang besar dan pedagang eceran, disusul UMKM penyedia akomodasi, makanan minuman dan industri pengolahan,” jelas Ghofirin kepada SariAgri, Sabtu (20/2).

Namun demikian, kata Ghofirin, UMKM yang mampu bangkit dan pulih paling cepat diantara sektor usaha lainnya dari badai Covid-19 yakni usaha berbasis pesantren. Dia yakin dan optimis berkat captive market yang dimiliki pesantren dapat diandalkan sebagai pergerakan perekonomian yang membuat cepat bangkit dan pulih.

“Ada beberapa aspek atau komponen yang membuat UMKM berbasis pesantren ini bisa tumbuh,” jelasnya.

Setidaknya ada tiga komponen pondok pesantren yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari ekosistem bisnis di pesantren. Pertama, hampir setiap pesantren di Jawa Timur memiliki santri dengan jumlah kurang lebih 1 juta santri.

Sudah barang tentu santri tidak sendirian, namun ada orang tua dan keluarga yang menyertai.

“Sehingga hal ini menjadi potensi pasar yang luar biasa serta produk yang dihasilkan oleh Pesantren dapat dinikmati oleh santri beserta keluarganya, bahkan ada fanatisme yang bisa dibangun sebagai kekuatan emosional dalam pengembangan produk di pesantren. Fanatisme ini tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi UMKM berbasis pesantren,” jelas dia. 

Kedua, jumlah pesantren di Jawa Timur menjadi kekuatan dan pasar potensial dimana kluster produk yang dihasilkan pesantren melimpah. Diantaranya kluster hasil pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, Industri makanan-minuman, pakaian, kerajinan, alat rumah tangga, jasa, pariwisata, hingga teknologi informasi. 

“Maka jika dioptimalkan tentu hal ini menjadi kekuatan yang luar biasa. Antarpesantren bisa melakukan transaksi bilateral dengan bekal tagline yang bisa diusung adalah dari pesantren, oleh pesantren, dan untuk pesantren,” jelas Ghofirin.

Dirinya mencontohkan, setiap pesantren penghasil pertanian bisa bertransaksi dengan pesantren penghasil perikanan. Pesantren penghasil perkebunan bisa bertansaksi dengan pesantren penghasil pakaian, kerajinan, teknologi informasi dan seterusnya.

Ketiga, setiap tahun pesantren meluluskan ribuan santrinya diantara para lulusan kemudian menjadi guru ngaji, da’i dan kiai. Namun, tidak sedikit yang berprofesi sebagai pengusaha.

Berbeda dengan alumni institusi pendidikan lainnya yang mana alumni pesantren memiliki hubungan emosional sangat erat dengan kiai dan pesantrennya.

“Kekuatan inilah yang menjadi potensi luar biasa untuk menjadi trigger kebangkitan UMKM berbasis pesantren. Para alumni dapat menjadi bagian mata rantai bisnis berbasis pesantren. Peran alumni cukup penting dalam supply chain produk di pesantren,” kata Ghofirin.

Alumni juga bisa menjadi distributor dan agen produk-produk yang dihasilkan oleh pesantren. Di samping itu alumni bersinergi dengan masyarakat dapat mengembangkan bisnis yang tidak hanya berioentasi pada profit namun juga berorientasi sosial.

“Berangkat dari kekuatan tersebut, sudah saatnya kita semua memberi perhatian kepada pesantren dan potensi usahanya dengan adanya Program One Pesantren One Product (OPOP) menjadi salah satu cara menaikkan kelas UMKM Berbasis Pesantren,” ucap Ghofirin. 

Melalui program OPOP, geliat ekonomi berbasis pesantren dapat terus didorong dan dikembangkan untuk menjadi bagian dari referensi UMKM di Indonesia. Produk-produk pesantren yang siap dipasarkan di tingkat lokal, nasional dan internasional harus diberi kesempatan seluas-luasnya. 

“Jika ada produk yang sedang kita pakai, sedang kita konsumsi, sedang kita gunakan, coba dicek, jangan-jangan itu produk pesantren,” ungkapnya dengan bangga. 

Askes permodalan menjadi suatu hal penting untuk turut mengangkat kemampuan usaha mikro, kecil dan menengah di pesantren. Berbagai skema dapat digulirkan untuk memperkuat permodalan usaha di pesantren, mulai skema hibah, pinjaman dana bergulir, CSR, pembiayaan perbankan dan non perbankan, hingga kerja sama antar entitas bisnis berbasis pondok pesantren. 

“Untuk mewujudkan hal tersebut, sinergi dan kolaborasi lima komponen perlu semakin ditingkatkan. Kolaborasi pentahelix antara akademisi, pebisnis, komunitas, pemerintah dan media mutlak diperlukan dalam mendorong kebangkitan UMKM Berbasis Pesantren,” pungkasnya.