Waspada! Pakar Unair Sebut Virus Nipah Bisa Akibatkan Pandemi Jilid 2

Editor: Dera - Jumat, 19 Februari 2021 | 12:40 WIB
SariAgri - Virus Nipah memang masih terdengar asing bagi orang Indonesia. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang tidak tahu perihal virus ini. Virus Nipah merupakan virus yang berkembang di Asia yang diakibatkan kelelawar dari famili Pteropodidae yang termasuk dalam genus Pteropus.
Menurut dosen Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr. Agung Dwi Wahyu Widodo dr., M.Si, M.Ked.Klin, SpMK, Kelelawar Pteropus bisa ditemukan di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan virus itu akan berkembang pula di Indonesia dan menyebabkan masalah baru.
“Virus yang dibawa Kelelawar Pteropus tersebut bisa menular dari hewan ke manusia, begitupun sebaliknya. Jika dilihat dari letak geografisnya, Indonesia yang termasuk Asia Tenggara ini berdampak besar pada masuknya virus,” ungkap Dr. Agung Dwi Wahyu Widodo kepada SariAgri, jum’at (19/2).
Dr. Agung menjelaskan, pihak World Health Organization (WHO) atau badan kesehatan dunia menyebutkan jika kelelawar di Indonesia memiliki antibodi terhadap virus Nipah.
Berkaca pada pandemi COVID-19, di mana pada Januari 2020 dikabarkan belum masuk di Indonesia. Namun pada Maret 2020, telah ditemukan kasus pertama COVID-19 yang akhirnya menyebar luas dengan sangat cepat.
Bahkan meski telah memasuki 2021, penyebaran virus belum mencapai titik akhir. Karena itu, meski saat ini seluruh komponen tengah berperang menghadapi COVID-19, persiapan dan pencegahan pada wabah virus nipah juga harus segera dilakukan.
“Caranya, pertama melakukan surveillance sejak dini. Kemudian dengan hasil surveillance itu, kita bisa mendeteksi sejak dini keberadaan outbreak dari infeksi virus ini,” kata Agung.
Kedua yaitu mempersiapkan laboratorium khusus yang bisa mendeteksi virus nipah.
“Jika hanya melakukan surveillance saja, kemudian kita tidak menerapkan cara mendiagnosanya, maka bisa lolos virus ini,” ungkap Dosen Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga tersebut.
Tahap Ketiga, kata Agung yakni mempersiapkan sarana dan prasana untuk merawat pasien yang terinfeksi virus nipah. Sebab, hingga saat ini belum ada obat atau vaksin untuk virus tersebut. Gejala berat seperti koma atau kejang bisa saja terjadi, namun yang bisa dilakukan adalah hanya memberikan perawatan suportif.
“Pasien juga bisa mengalami gagal napas dan gangguan pernapasan lain, tentunya ini membutuhkan ventilator. Jumlah ICU yang cukup juga harus dipersiapkan untuk mempertahankan kehidupan pasien,” kata dia.
Agung mengingatkan Virus Nipah tersebut bisa menyebabkan infeksi dan dapat menimbulkan pandemi berikutnya.
“WHO dalam situsnya mengatakan virus Nipah merupakan penyakit zoonosis dari kelelawar buah. Kemudian menular ke babi. Dari babi menular ke manusia. Dari sinilah akhirnya terjadi proses penularan beruntun. Selain itu dapat ditularkan melalui makanan yang terkontaminasi atau penularan langsung dari orang ke orang, “ terangnya.
Virus Nipah, lanjutnya, kali pertama ditemukan di Malaysia pada 1999. Bahkan virus ini sempat menyebabkan wabah pada kalangan peternak babi di sana pada tahun yang sama. Wabah yang terjadi di Malaysia juga berdampak pada Singapura di mana penularan virus disebabkan kontak langsung dengan babi sakit atau jaringan yang terkontaminasi.
Baca Juga: Waspada! Pakar Unair Sebut Virus Nipah Bisa Akibatkan Pandemi Jilid 2Virus Nipah! Ancaman Pandemi Berikutnya
“WHO mencatat negara lain juga bisa mengalami wabah yang sama karena ditemukan spesies kelelawar Pteropus dan spesies lain yang dapat menyebabkan penularan virus ini. Negara tersebut ialah Kamboja, Ghana, Indonesia, Madagaskar, Filipina dan Thailand, “ paparnya.
Agung menyebutkan tanda dan gejala yang timbul akibat terpapar virus itu menyerupai tanda dan gejala pada influenza.
“Gejala awal yang terjadi seperti orang sakit influenza. Badannya meriang, demam, otot-otot badan sakit. Kemudian gejala ini akan berlanjut, infeksi virusnya, lalu menyebar. Virus ini juga bisa menyebabkan gangguan napas dan infeksi pada otak. tingkat kematian pada virus ini diperkirakan mencapai 75 persen,” pungkas Dewan Pakar Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur tersebut.