Laporan Khusus: Isapan Terakhir Rokok Ketengan

Isapan Terakhir Rokok Ketengan (Sariagri/Faisal Fadly)

Editor: Tatang Adhiwidharta - Jumat, 6 Januari 2023 | 15:00 WIB

Sariagri - Surga rokok itu bernama Indonesia. Masyarakat begitu mudah mendapatkan kenikmatan dari gulungan tembakau satu ini. Bagaimana tidak, mereka yang menyebut diri sebagai 'ahli hisap' bisa mendapatkannya dengan mudah di warung, minimarket atau supermarket sekalipun.

Layaknya seperti permen, tak semua orang mampu membeli beserta bungkusnya. Eceran menjadi pilihan, ini berlaku bagi para perokok ketika momen tertentu. Sebut saja di tanggal tua karena memiliki uang pas-pasan.

Kini, Pemerintah memastikan pelarangan penjualan rokok batangan atau ketengan mulai tahun 2023. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.

Dalam beleid itu tercantum rencana untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 soal Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Presiden Joko Widodo menyatakan, larangan jual rokok ketengan dimaksudkan untuk menjaga kesehatan masyarakat. "Ya itu kan untuk menjaga kesehatan masyarakat kita semuanya," ujar Jokowi dalam keterangan pers di Subang, Selasa (27/12/2022).

Adanya aturan yang dianggap merengkuh 'kebebasan untuk merokok', Sony, seorang karyawan swasta menolak kebijakan dari pemerintah. Pria berusia 29 tahun ini, heran saja jika tak boleh membeli rokok eceran atau ketengan.

"Jujur saya tidak setuju. Jika memang larangan ini akan diberlakukan apakah pemerintah sudah memikirkan dampaknya bagi para perokok? sebagian orang mungkin enggak mampu beli rokok bungkusan, masa beli satu batang saja engga boleh?" ujarnya.

Sony menambahkan, larangan penjualan rokok ketengan tidak serta merta membuat masyarakat menjadi lebih sehat. Menurutnya, ada banyak cara lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk membuat masyarakat lebih sehat.

"Apanya yang lebih menyehatkan? wong kitanya aja kekurangan fasilitas tempat olahraga. Masih banyak sih sebenarnya yang bikin masyarakat tidak sehat, rokok memang salah satunya, tapi bukan berarti menjadi faktor utama masyarakat jadi kurang sehat," terangnya.

Sementara itu, perokok aktif lainnya, Rizqi, mengatakan bahwa larangan ini akan sangat terasa dampaknya bagi perokok yang terbiasa membeli ketengan. "Kalau yang biasa beli ketengan pasti kerasa banget sih. Mereka gak punya uang lebih buat beli bungkusan, tapi karena kebutuhan psikis, mereka jadi beli ketengan," ujar lelaki berusia 25 tahun ini.

Menurutnya, cukai rokok yang naik tiap tahun membuat perokok enggan membeli bungkusan lantaran harganya lebih mahal. Selain itu, ia juga menilai larangan ini bisa mengurangi angka konsumsi rokok di Indonesia

"Secara enggak langsung bisa mengurangi konsumsi rokok karena beli seperlunya ketimbang sebungkus yang lebih mahal," tuturnya.

Larangan Ketengan Menurunkan Omzet Pedagang

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) M. Mujiburrohman mengatakan bahwa dirinya tidak setuju dengan adanya rencana larangan tersebut. Ia menilai kebijakan itu akan menurunkan pendapatan para pedagang.

"Kalau misalnya dengan cara beli rokok ketengan enggak bisa, maka pedagang akan berkurang pendapatannya atau perputaran uang sedikit terhambat," jelasnya kepada Sariagri, beberapa waktu lalu.

Mujiburrohman menyampaikan, jika alasan pemerintah untuk menghindari anak-anak di bawah umur membeli rokok, mestinya ada tindakan tegas dari pedagang yang menjual rokok untuk anak-anak.

“Saya sepakat untuk diatur penjualannya kepada siapa. Artinya kalau untuk anak kecil enggak boleh itu setuju. Cuma ini kalau untuk grosiran atau ketengan menurut saya kurang pas. Pedagang punya pertimbangan sendiri dia mau (jual) keteng atau grosiran," sambungnya.

Menurutnya, apabila rencana ini terealisasi maka realita di lapangan tidak akan begitu efektif. Sebab, akses membeli rokok di Indonesia sangat mudah termasuk penjualan kepada anak-anak di bawah umur.

"Karena ada suatu kondisi di mana kita bisa mengakses dengan mudah, kemudian ada larangan, saya yakin penerapannya akan sulit. Kecuali dari awal itu memang ada aturan terkait perederan rokok. Di negara kita itu seperti diatur tapi tidak ada sanksi ya sama aja bohong," paparnya.

Senada dengan hal itu, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) mengkritisi keras wacana pemerintah terkait penjualan rokok ketengan. Ketua APKLI, Ali Mahsun menjelaskan, penjualan rokok secara eceran selama ini merupakan salah satu penopang utama pendapatan para pedagang kaki lima. Maka dari itu, wacana ini bakal menggerus pendapatan pedagang kaki lima secara signifikan.

"Dampak kebijakan ini akan sangat signifikan mengurangi pendapatan, karena pedagang kaki lima biasanya memang membeli per bungkus di warung dengan harga normal. Misalnya satu bungkus mereka beli Rp23 ribu, kemudian dia jual eceran dua-tiga batang senilai Rp5 ribu. Kalau kemudian penjualan eceran dilarang, pasti keuntungan akan anjlok," kata kepada awak media, dikutip Kamis (29/12).

Menurutnya, wacana ini memberatkan dan tidak adil bagi para pedagang kaki lima. Di sisi lain, harga rokok juga dipastikan bakal terus meningkat pasca keputusan kenaikan cukai.

"Makanya kami juga sedang mempersiapkan untuk mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi untuk kembali meninjau wacana kebijakan ini," ucapnya.

Lebih lanjut, Ali mengatakan wacana kebijakan ini juga bakal menambah beban konsumen perokok dewasa. Sebab mayoritas pembeli rokok batangan merupakan masyarakat kelas menengah bawah yang kondisi keuangannya terbatas atau terbiasa mengkonsumsi rokok dalam jumlah yang sedikit.

Bencana Ekonomi Pedagang Kecil

Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Baddrudin mengatakan bahwa larangan penjualan rokok batangan baru sebatas usul Kementerian Kesehatan kepada Kepala Negara. Ia menyampaikan, apabila usulan tersebut diterima oleh presiden, maka ini akan menjadi bencana ekonomi yang pelan-pelan mematikan sumber rezeki pedagang kecil.

"Rokok bagi pedagang kecil seperti mutiara, sebab rokok menjadi barang dagangan yang menyumbang ekonomi mereka dengan perputaran yang cepat. Rencana kebijakan ini tentu akan mencederai hak asasi manusia para perokok. Rokok adalah barang legal dan merokok juga aktivitas legal," terangnya kepada Sariagri.

Ia menjelaskan pelarangan penjualan rokok batangan tidak efektif mengurangi perokok. Pemerintah seharusnya mengenali betul masyarakatnya.

"Jika alasan pelarangan penjualan rokok eceran untuk menekan prevalensi merokok pada anak, ini tentu kesalahan berpikir yang sangat kronis. Kita punya perangkat hukum yang mengatur hal itu, yaitu PP 109 tahun 2012. Dalam PP ini sudah sangat rigid mengatur cara main perdagangan rokok. Hanya saja, pemerintah tidak melakukan fungsi pengawasan yang benar," tuturnya.

"Yang perlu dilakukan pemerintah adalah pencermatan terhadap data prevalensi merokok anak yang beredar luas. Antar lembaga saja tidak sinkron datanya, yang bilang turun, satu bilang naik. Jadi kalo pondasi itu tidak seirama, tentu kebijakannya tidak akan tepat sasaran," tambahnya.


Menurut Badan Pusat Statistik, persentase perokok berumur di atas 15 tahun di Indonesia mengalami fluktuasi selama 3 tahun terakhir. Pada 2020, persentase penduduk Indonesia di atas 15 tahun yang merokok adalah 28,69. Kemudian pada 2021 angkanya melonjak menjadi 28,96 persen, dan menurun lagi pada 2022 menjadi 28,26 persen.

Provinsi dengan jumlah perokok tertinggi pada 2020 adalah Lampung. Jumlah perokok di atas 15 tahun di provinsi itu sebanyak 33,43 persen. Disusul Jawa Barat sebesar 32,55 persen, dan Bengkulu 32,31 persen.

Kemudian, pada 2021 Provinsi dengan jumlah perokok tertinggi pada 2021 adalah Lampung. Jumlah perokok di atas 15 tahun di provinsi itu sebanyak 34,17 persen. Disusul Bengkulu sebesar 33,17 persen, dan Nusa Tenggara Barat 32,71 persen.

Selanjutnya, pada 2022 Provinsi dengan jumlah perokok tertinggi masih dipegang Lampung. Jumlah perokok di atas 15 tahun di provinsi itu sebanyak 33,81 persen, meski mengalami penurunan. Disusul Bengkulu sebesar 32,16 persen, dan Nusa Tenggara Barat 32,20 persen.

Baca Juga: Laporan Khusus: Isapan Terakhir Rokok Ketengan
Tarif Cukai Hasil Tembakau Naik Jadi 10 Persen di 2023

Tren penurunan jumlah penduduk perokok juga dialami sebagian besar provinsi. Misalnya DKI Jakarta, terpantau jumlah penduduk perokok terus mengalami penurunan mulai dari 2020 hingga 2022, masing-masing 25,75 persen, 24,44 persen, 21,25 persen.

Namun ada beberapa provinsi yang justru mengalami kenaikan jumlah penduduk di atas 15 tahun yang merokok. Seperti di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mengalami tren kenaikan penduduk perokok mulai dari 2020 hingga 2022, masing-masing 30,58 persen, 32,71 persen dan 33,20 persen.

Tim Laporan Khusus: Isapan Terakhir Rokok Ketengan

Reporter: Rashif Usman

Editor: Tatang Adhiwidharta

Grafis: Faisal Fadly