Tiga Tahun Jokowi-Ma’ruf Amin, CIPS: Jalan Terjal Pulihkan Ekonomi

Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Menteri Sekretaris Negara Pratikno (keempat kiri) menanam bibit pohon kelapa genjah bersama petani di lahan pertanian Giriroto, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (11/8/2022). (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho)

Editor: Yoyok - Rabu, 26 Oktober 2022 | 19:15 WIB

Sariagri - Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dihadapkan pada ancaman resesi. Padahal dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia belum pulih sepenuhnya.

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Krisna Gupta menyebut konteks kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin tidak dapat dipisahkan dari periode pertama. “Presiden Jokowi mengawali periode pertama dengan kondisi yang tidak ideal. Ia menghadapi pelemahan harga komoditas menekan neraca pembayaran Indonesia yang memasuki teritori negatif sejak tahun 2011. Pada 2013, Kebijakan pengereman pembelian aset oleh Bank Sentral Amerika Serikat membuat rupiah terjun bebas ke teritori 13.000 per dolar AS dari sekitar Rp9.000-an,” ujar Krisna di Jakarta, Rabu (26/10/2022). Penilaian ini disampaikan CIPS untuk memperingati tiga tahun kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin yang jatuh pada 20 Oktober lalu.

Meski demikian, Jokowi mampu meningkatkan belanja infrastruktur secara masif. Data dari CEIC menunjukkan besarnya belanja infrastruktur sepanjang periode pertama Jokowi mencapai lebih dari 1,5 kali lipat belanja infrastruktur dari dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Hal ini dilakukan meskipun tax ratio terus menurun tanpa meninggalkan disiplin defisit fiskal sebesar 3 persen PDB. Salah satu langkah yang berani adalah memotong subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memberi ruang untuk pemanfaatan APBN ke arah yang lebih produktif.

Di saat yang sama, kebijakan perekonomian di tahap pertama pemerintahan Jokowi cenderung populis dan proteksionis. Pelemahan harga komoditas membuat industri andalan seperti kelapa sawit meminta bantuan pemerintah. Sementara industri-industri manufaktur yang diproteksi malah semakin berkurang kontribusi ekonominya. 

Pertumbuhan ekonomi di era Jokowi hanya sekitar 5 persen, yang meski masih cukup baik dibanding banyak negara lain, tapi masih di bawah target yang diharapkan. “Proyek infrastruktur yang turut didanai corporate bond menghantui balance sheet dari banyak BUMN karya. Reformasi struktural sangat diperlukan,” ujar Krisna.

Sementara itu, periode kedua Jokowi dimulai dengan pandemi Covid-19. Progres pengentasan kemiskinan yang sudah berjalan baik kembali mundur bersamaan dengan status upper-middle income dari Bank Dunia.

“Pandemi juga memaksa pemerintah untuk menaikkan defisit APBN menjadi sekitar 6 persen. Kondisi global pasca pandemi menjadi semakin tidak pasti seiring dengan serangan Rusia ke Ukraina,” paparnya.

Selain itu, ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai partner dagang utama mengalami perlambatan. Sementara inflasi di negara-negara maju memaksa berbagai bank sentral, termasuk Bank Indonesia, untuk menaikkan suku bunga.

“Di tengah keinginan Presiden Jokowi untuk terus meningkatkan investasi, pasar global malah mengalami kesulitan pendanaan. Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia yang membutuhkan investasi untuk menggerakkan sektor-sektor strategis,” ujarnya.

Krisna menyebut Jokowi-Ma’ruf perlu mewaspadai resesi yang mulai diramalkan akan terjadi di berbagai belahan dunia. Meski harga batu bara yang masih tinggi akan cukup menolong, namun tingkat suku bunga The Fed dan nilai tukar rupiah masih perlu terus dipantau dan diwaspadai.

Performa negara dalam mengumpulkan pendapatan negara melalui pajak dan memanfaatkan RCEP, sebuah perjanjian dagang yang baru saja diratifikasi, akan menjadi kunci yang sangat penting.

Pengumpulan data dan evaluasi jangka pendek maupun jangka menengah dari program-program ini harus terus diupayakan. 

Baca Juga: Tiga Tahun Jokowi-Ma’ruf Amin, CIPS: Jalan Terjal Pulihkan Ekonomi
APBN 2023 Dirancang untuk Meredam Keraguan dan Bangkitkan Optimisme

Jokowi-Ma’ruf harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa program-program ekonominya akan membawa manfaat di jangka panjang.

“Tidak hanya itu, karena sifatnya yang jangka panjang, keduanya juga harus mampu meyakinkan pasangan capres-cawapres berikutnya untuk meneruskan kebijakan-kebijakan ini. Atau alternatifnya, mari berharap pasangan calon berikutnya akan memiliki kritik yang cukup koheren dan memiliki ide-ide kebijakan ekonomi yang lebih baik,” pungkasnya.